Tentang

Sejarah Banyuwangi

Menurut data sejarah yang ada mengenai sejarah Blambangan, Banyuwangi terbentuk pada tanggal 18 Desember 1771. Sebelum Perang Puputan Bayu (bahasa daerah Banyuwangi artinya perang yang terjadi di Bayu, sekarang Kecamatan Songgon), terjadi perang heroik, ketika prajurit Blambangan yang dipimpin oleh Pangeran Puger (putra Wong Agung Wilis) menyerang pasukan VOC di Banyualit pada tahun 1768.

tari-barong-banyuwangi

Namun sayang tanggal kejadiannya tidak tercatat secara pasti dan ada kesan bahwa serangan tersebut mengakibatkan kekalahan total, namun mungkin musuh tidak kalah sama sekali. Pada dasarnya catatan sejarah dari peristiwa ini sangat kabur. Diketahui bahwa selama pertempuran ini Pangeran Puger meninggal. Setelah Lateng dihancurkan, Wong Agung Wilis ditangkap dan dibawa ke Pulau Banda. Berdasarkan data sejarah, nama Banyuwangi tidak lepas dari Kerajaan Blambangan. Sejak zaman Pangeran Tawang Alun sekitar tahun 1655-1691, Pangeran Sasranegara, Pangeran Mancanapua, Pangeran Danureja pada tahun 1691-1736, Pangeran Danuningrat tahun 1736-1763 dan pada masa pendudukan Bali di tahun 1763-1767, VOC telah tidak tertarik masuk dan menguasai Blambangan.

Sekitar tahun 1743, beberapa daerah di bagian timur Jawa termasuk Blambangan diserahkan kepada VOC oleh Pakubuwono II, sehingga VOC merasa dan berhak atas Blambangan. Dimana dianggap sebagai “barang stok” yang akan dieksploitasi saat dibutuhkan. Bahkan ketika Pangeran Danuningrat menginginkan bantuan VOC melawan Bali, VOC tetap tidak tertarik pada Blambangan atau sebagian kecil Banyuwangi (saat itu disebut Tirtaganda, Tirtoarum, atau Tuyoarum). Lalu tiba-tiba VOC mencoba mencaplok Banyuwangi dan mengamankan seluruh kerajaan Blambangan. Selama perang lima tahun (1767-1772), VOC berusaha mencaplok Banyuwangi yang saat itu merupakan pusat perdagangan yang berkembang pesat di Kerajaan Blambangan yang didominasi oleh Inggris.

Akhirnya, jelas bahwa kelahiran tempat yang akhirnya dikenal sebagai Banyuwangi itu dimulai dengan Perang Puputan Bayu. Jika Inggris tidak menduduki Banyuwangi pada tahun 1766, mungkin VOC tidak akan mencaplok Blambangan pada tahun 1767, dan Perang Puputan Bayu tidak akan terjadi. Jelas ada korelasi kuat antara Perang Puputan Bayu dan lahirnya Banyuwangi. Oleh karena itu, 18 Desember 1771 tepat ditetapkan sebagai hari lahir Banyuwangi.

– Legenda Banyuwangi

Penguasa Kerajaan Blambangan, Raden Banterang, biasa menduduki daerah-daerah tetangga dalam rangka memperluas wilayah kekuasaannya, termasuk Kerajaan Klungkung Bali. Pecahnya Perang Klungkung menghancurkan negara sekecil itu. Raja Klungkung terbunuh di medan perang, namun putri dan putranya berhasil melarikan diri dan bersembunyi di hutan.

Suatu hari, Raden Banterang dan para panglimanya sedang menginspeksi daerahnya sambil berburu. Di hutan itulah Raden Banterang bertemu dengan seorang wanita cantik bernama Ida Ayu Surati. Yang kemudian dibawa ke Blambangan untuk dijadikan seorang istri. Ida Ayu Surati dan Raden Banterang sangat menikmati pernikahan mereka dan hidup Bahagia di keraton.

Suatu saat ketika Raden Banterang sedang berburu pada suatu hari, putri yang kesepian dikejutkan oleh kedatangan seorang pengemis jorok yang meminta belas kasihan padanya. Sang putri terkejut mengetahui bahwa pengemis itu adalah kakak laki-lakinya, Agung Bagus Mantra. Dia segera berjongkok dan memeluk kaki kakaknya. Rasa hormat terhadapa kakaknya ini tidaklah diterima dengan baik bahkan ia mendapatkan siksaan karena dianggap sebagai penghianat keluarga bangsawan.

Agung Bagus Mantra meminta adiknya untuk membunuh Raden Banterang, namun permintaan tersebut ditolak. Dia sangat marah padanya dan datang dengan ide licik untuk memfitnah Raden Banterang.

Awalnya, Raden Banterang tidak percaya istrinya terlibat skandal dengan pria lain. Namun karena kata-kata Agung yang meyakinkan, akhirnya dia terpengaruh dan karena itu, istrinya diseret ke sebuah danau kecil. Meminta belas kasihan, Ida Ayu Surati mencoba mengatakan yang sebenarnya dan membantah tuduhan suaminya. Mendengar penjelasan istrinya, raja menjadi semakin marah. Sebagai bukti cinta sucinya, dia meminta suaminya untuk membunuhnya. Sebagai permintaan terakhir, ia meminta kepada suaminya untuk membuang mayatnya ke dalam sungai. Sambil berkata, apabila air sungai menjadi bau, itu berarti ia telah melakukan kesalahan atau dosa. Namun, apabila air sungai beraroma harum maka dirinya tidaklah bersalah.

Raden Banterang yang tidak bisa menahan emosinya, segera menikamkan kerisnya ke dada istrinya. Dia meninggal seketika. Mayat Ida Ayu Surati dengan cepat dibuang ke sungai yang kotor. Raden Banterang kaget melihat sungai tiba-tiba menjadi bersih dan jernih seperti kaca dengan bau yang harum. Raden Banterang berteriak sekencang-kencangnya dan menyesali perbuatannya. Dia berjalan terhuyung-huyung dan jatuh ke sungai sambil berteriak, “Banyuwangi, Banyuwangi, Banyuwangi!”

Legenda Banyuwangi lainnya diambil dari kisah Sri Tanjung Sidopekso. Alkisah, seorang penguasa setempat, Raja Sulahkromo, memiliki seorang patih, R.Sidopekso. Istri patih, Sri Tanjung, sangat cantik sehingga raja menginginkannya. Untuk dapat merayu Sri Tanjung, raja memerintahkan patihnya untuk menjalankan misi yang akan memakan waktu lama. Selama ketidakhadirannya, raja mencoba mengadili Sri Tanjung tanpa hasil. Ketika R. Sidopekso kembali, dia pergi dulu ke penguasanya. Raja, yang marah karena rencananya tidak berhasil, memberi tahu patih bahwa selama ketidakhadirannya, istrinya tidak setia kepadanya. Sidopekso pulang ke rumah dan menghadapkan istrinya dengan dugaan perzinahan. Penyangkalannya tidak meyakinkannya, dan dia mengumumkan bahwa dia akan membunuhnya. Sidopekso membawa Sri Tanjung ke tepi sungai. Sebelum dia menikamnya sampai mati, dia bernubuat bahwa dia tidak bersalah akan terbukti. Dan memang, setelah menikam istrinya sampai mati dan membuang mayatnya ke sungai yang kotor, sungai itu segera menjadi bersih dan mulai menebarkan aroma yang harum. Sidopekso berkata, “Banyu…Wangi…..Banyuwangi”. Ini berarti “air harum”. BANYUWANGI lahir dari bukti cinta yang mulia dan suci.